Rabu, 09 Februari 2011

BAB I

PENDAHULUAN

A.               LATAR BELAKANG

Korupsi adalah suatu tindakan yang merugikan pihak lain dan merupakan pelanggaran terhadap hukum yang dilakukan dengan sengaja.
Kasus korupsi di Indonesia merupakan akibat dari buruknya kinerja birokrasi di Indonesia. Korupsi menjadi salah satu hambatan terburuk dalam pembangunan suatu bangsa, korupsi sangat dinikmati oleh orang- orang kaya tetapi sangat menyengsarakan bagi orang-orang miskin dan korupsi merupakan hambatan terbesar untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dalam sebuah masyarakat atau negara. Dan semakin membuat masyarakat Indonesia sengsara. Namun orang-orang kaya tidak memperdulikan, mereka hanya asyik dengan kegiatannya sendiri. Korupsi di Indonesia seakan telah menjadi budaya yang memasuki berbagai bidang kehidupan, apalagi di sektor birokrasi kita. Sehingga menyebabkan Indonesia termasuk dalam jajaran sepuluh besar negara terkorup di dunia.

Banyak masyarakat menjadi lumpuh karena lemahnya anti corupsion system pengadilan sehingga menganggu kontrak hak milik belum lagi dengan persoalan keadilan bagi setiap warga, dan pembangunan sering tidak tercapai karena korupsi meliputi jalur- jalur birokrasi.
Faktor penyebab terjadinya korupsi adalah dibagi menjadi dua : 1) Internal, adanya keinginan yang didorong oleh hawa nafsu sehingga sulit adanya control diri yang menjadi tameng, lemahnya pola pikir. 2) External, kesempatan yang memungkinkan ia untuk melakukan tindakan korupsi, solusi yang saya tawarkan untuk meminimalisir terjadinya korupsi adalah dengan cara merubah system.
Di era reformasi ini, setelah tumbangnya pemerintahan Orde Baru, agenda yang menjadi sorotan utama adalah masalah pemberantasan kasus-kasus korupsi. Masalah inilah yang merupakan salah satu penyebab utama runtuhnya pemerintahan Orde Baru. Di dalam pemilu pun, agenda pemberantasan korupsi menjadi isu yang cukup menjual untuk menarik massa. Bahkan kita sendiripun tidak bisa lepas dari masalah yang satu ini. Oleh karena itu harus ada elemen yang konsen di bidang hukum untuk mengadakan gerakan sadar hukum kepada masyarakat tentang kasus korupsi.


B.      RUMUSAN MASALAH

   1. Siapa tokoh teori fungsionalisme      structural?
   2. Apa yang di maksud teori      fungsionalisme structural?
   3. Contoh kasus teori fungsionalisme      structural?









BAB II
PEMBAHASAN


1.     BIOGRAFI EMILE DURKHIEM

Emile Durkhiem lahir pada 15 April 1858 di Epinal, provinsi Lorraine di Prancis timur. Ia dibesarkan dalam kelarga dan komunitas Yahudi Ortodoks, anak seorang rabbi. Tetapi ia lebih cenderung pada modernitas daripada tradisi, dibutikan dengan ia meniti karirnya dibidang intelektualitas sekuler daripada religius.
Durkhim pada umumnya dianggap salah satu tokoh dalam perkembangan sosiologi sebagai disiplin akademis. Proyek intelektualnya berhubungan dengan dua problem utama. Yang pertama, mengenai otonomi social sebagai level realitas yang khas dan tidak diturunkan menjadi wilayah-wilayah psikologi individu. Yang kedua, mengenai krisis modernisitas putusnya ikatan-ikatan sosial tradisional karena industrial, pencerahan, dan individualisme.
Durkhiem memang seorang yang sungguh-sungguh serius dan menekan jadwal kerjanya, sehingga berakibat buruk pada kesehatan fisik dan mentalnya. Setelah merampungkan studi di Paris tahun 1882 dia mengajar  filsafat di sejumlah Lycee. Tahun 1887 ia diminta mengajar sosiologi dan pendidikan di Fakultas Sastra Universitas Bordeaux. Tahun itu pula dia menikah dengan Louise Dreyfus, yang membantu kerja intelektual Durkhiem, memikul tanggungjawab untuk urusan rumah tangga dan pendidikan dua anaknya, menyalin berbagai manuskrip, mengoreksi naskah, dan terlibat administrasi editorial Annee Sociologique (dibentuk tahun 1898). Selama 15 tahun di Bordeaux, dia menerbitkan 3 karya, yaitu :
·        The Division of Labor in Society (1893) yang berisi bukti-bukti sejarah untuk menunjukkan bahwa individualisme oleh para pemikir sosial konservatif dianggap bertanggungjawab atas runtuhnya tatanan sosial.
·        The Rules of Sociological Method (1895) yang menjelaskan subjek yang dikontruksi secara sosial menandaskan tentang sosiologi sebagai bidang penelitian yang absah dan objek studinya berupa “fakta-fakta sosial“.
·        Suicide (1897) berisi statistik jumlah rata-rata orang bunuh diri yang bervariasi sesuai dengan perubahan solidaritas sosial.
Reputasi intelektual dan meningkatnya legitimasi ilmu-ilmu sosial Durkhiem dengan diangkatnya ia sebagai pimpinan di Sorbone tahun 1902. Selama  sebelas tahun di Sorbone kata sosiologi belum ditambahkan pada gelarnya. Pecahnya perang tahun 1914, fokus tulisan-tulisan dan aktivitas public Durkhiem bergeser menuju tentang sebab-sebab historis munculnya perang dan isu-isu tentang moralitas nasional. Kesehatanya semakin memburuk sesudah kematian anaknya di Front tahun 1916. Durkhiem meninggal pada bulan November 1917 di usianya yang ke-59. disepanjang karya-karyanya, Durkhiem mempertahankan suatu pandangan social radikal tentang perilaku manusia sebagai sesuatu yang dibentuk oleh kultur dan struktur sosial.







2.     TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL

Teori fungsinalisme struktural muncul dan menjadi bagian dari analisis sosiologis sekitar tahun 1940-an. Teori ini mencapai kejayaan pada tahun 1950-an. Saat itu teori fungsionalisme struktural merupakan teoritis standar yang diikuti mayoritas sosiolog dan hanya sebagian kecil yang menentangnya. Namun mulai tahun 1960-an dominasi teoritis fungsionalisme struktural mendapat tantangan keras. Akan tetapi di Amerika Serikat teori ini masih merupakan persepektif yang dominan lewat karya Emile Durkhiem dan Herbert Spencer yang tradisinya dapat ditelusuri pada Bapak Sosiologi, yaitu Auguste Comte. Malinowski, dan Radclife Brown, sebagai Antropolog yang sangat terkenal, mereka sangat dipengaruhi oleh teori Emile Durkhiem. Kemudian teori mereka mempengaruhi sosiolog Amerika Serikat, Talcott Parsons. Sebagai instruktur muda, Parsons memperkenalkan karya Emile Durkhiem dan persepektif fungsionalisme struktural kepada Robert King Merton, salah seorang muridnya di Universitas Hardvard di Amerika Serikat.

Secara essensial, prinsip-prinsip pokok fungsionalisme struktural menurut Stephen K. sanderson (1993:9) adalah sebagai berikut:
1).  Masyarakat merupakan sistem yang kompleks, terdiri dari bagian-bagian yang  saling berhubungan dan saling bergantung, dan saling berpengaruh secara signifikan terhadap bagian-bagian lainnya.
2). Setiap bagian dari masyarakat eksis karena bagian tersebut memiliki fungsi penting dalam memelihara eksietensi dan stabilitas masyarakat secara keseluruhan.
3). Semua masyarakat memiliki mekanisme untuk mengintregasikan dirinya, yaitu mekanisme yang dapat merekatkannya menjadi satu. Salah satu mekanisme ini adalah komitmen para anggota masyarakat kepada serangkaian kepercayaan dan nilai yang sama.
4). Masyarakat cenderung mengarah kepada suatu keadaan ekuilibrium atau homeostatis, dan gangguan pada salah satu bagian cenderung menimbulkan penyesuaian pada bagian lain agar tercapai harmoni dan stabilitas.
5). Perubahan social merupakan kejadian yang tidak biasa dalam masyarakat. Tetapi bila itu terjadi maka perubahan itu pada umumnya akan membawa pada konsekuensi-konsekuensi yang menguntungkan masyarakat secara keseluruhan.

Emile Durkhiem sebagai tokoh fungsionalisme struktural selalu membahas dan menguraikan berbagai dampak dan fenomena sosial bagi kehidupan manusia. Hasil temuan Malinouwsky dan Radclifedi Melanisia dan Polinisia tentang peraturan dan adat kebiasaan yang berbeda jauh dari dunia Barat, menyimpulkan bahwa setiap aturan dan adat kebiasaan itu  memiliki fungsi. Seperti “magic” memiliki fungsi untuk menenangkan rakyat dari kegelisahan dan rasa takut ketika menghadapi musibah yang dalam banyak hal mereka tidak berdaya. Agama dengan upacara-upacara yang menumpahkan darah, bermaksud untuk mencegah rakyat lari dalam keadaan tercerai berai dan mencoba mengintregasikan mereka dalam kesatuan sosial. Mengenai konsep “fungsi” Malinowsky dan Radclife di atas, dirinci oleh sosiologi Amerika Serikat, Robert King Merton yang telah menghabiskan karir sosiologinya mempersiapkan dasar struktur fungsional untuk karya-karya sosiologinya menegaskan bahwa terdapa enam arti fungsi di atas ( Karl J. Veeger , 1992:83-90) yaitu sebagai berikut:
1)      Sosiologi mengartikan fungsi sebagai akibat atau konsekuensi logis, obyektif ( nyata, lepas dari maksud atau motivasi seseoarang ) terbuka untuk setiap pengamatan empiris dari suatu unsure sosio-budaya bagi kesatuaan sosial yang lebih besar.
Contoh : fungsi dari sebuah sekolah bagi masyarakat luas, yaitu bahwa sekolah dapat menyampaikan pengetahuan dan ketrampilan kepada generasi muda; mengurung anak-anak di satu komplek selama sekitar beberapa jam sehingga tidak merepotkan orang tua; saling mempertemukan orang yang sebelumnya tidak kenal; dan mempengaruhi bentuk kepribadian mereka; dll. Tetapi juga jangan dilupakan akan adanya hal-hal negative yang timbul dari dari suatu fenomena sosio-budaya yang tidak disadari orang dan ini masuk dalam konsep “fungsi”. Misalnya suatu sistem pendidikan tertentu dapat mengakibatkan tertundanya proses pendewasaan para remaja; menghambat pemikiran individual; mengakibatkan ketergantungan yang lebih lama atau suatu kultus guru yang berlebih-lebihan; dan mereka tidak dapat membantu orang tuanya. Sejauh akibat-akibat dampak negatif adalah nyata dan dapat ditinjau oleh siapapun maka hal ini disebut sebagai fungsi.
2)      Merton dalam hal fungsi membantah pendapat Malinowsky bahwa semua praktek atau unsure sosio-budaya mesti mempunyai suatu fungsi. “Pandangan fungsionalisme” semacam ini tidak boleh diapriorikan. Jika semua gejala sosio-budaya dianggap fungsional, maka tidak menghasilkan pengetahuan ilmiah yang diharapkan. Oleh karena itu fungsionalisme individual oleh Robert K. Merton di tolak. Kemudian, setidak-tidaknya secara prinsip harus diperhitungkan bahwa ada juga hal-hal yang non-fungsional.
3)      Merton juga membatasi asumsi lain dari Malinowsky dan Radclife Brown yang menyebutkan bahwa setiap unsure sosio-budaya mempunyai fungsi baik dan positif, baik bagi keseluruhan kehidupan sosial maupun bagi semua anggotanya. Lebih-lebih sekarang ini, kondisi dan komposisi masyarakat bersifat pluricultural dan terdiri dari kelas-kelas sosial yang jarang atau tidak pernah akan terjadi bahwa suatu adapt kebiasaan, peraturan atau norma menjadi sama fungsinya untuk semua golongan. Karl J. Veeger mencontohkan kebiasaan memakai baju baru pada hari raya Idul Fitri kirannya fungsional bagi orang banyak, akan tetapi pasti disfungsional bagi orang-orang miskin yang justru tergoda untuk mencuri dalam masa bulan Romadhan
4). Dalam mempelajari dan menginfentariskan konsekuensi-konsekuensi tertentu haruslah diperhitungkan adanya kemungkinan bahwa suatu adat atau norma dapat diganti. Jika diandaikan setiap praktek sosial mempunyai fungsi yang sedemikian penting bagi eksistensi dan keutuhan masyarakat sehingga tidak dapat diganggu gugat. Sejarah dunia mengakui bahwa kedatangan peradaban atau agama baru sering mengakibatkan punahnya nilai-nilai dan struktur-struktur sosial tradisional. Bukan perubahan yang digunakan, melainkan cara tidak bijaksana yang digunakan dalam mengggunakan perubahan itu. Misalnya jika suatu perubahan struktur tidak disertai perubahan mental, maka timbulah kesenjangan antara struktur lahiriah dengan nilai-nilai budaya yang dihayatihnya dalam masyarakat. Analisis fungsional harus mempelajari dan menyuarakan struktur-struktur dan nilai-nilai lain yang dapat menjadi alternatif-alternatif struktural dan budaya, yang pantas dipertimbangkan oleh masyarakat, meskipun saat itu pandangan baru masih ditolak oleh adat lama. Apa yang kiranya tidak baik bisa menjadi yang lebih baik, sedang yang sudah baik mungkin bisa menjadi lebih baik lagi. Dengan demikian konsep fungsi yang tadinya dipandang statia menjadi lebih dinamis, dan fungsionalisme yang dituduh bersikap konservatif bisa menjadi progresif.
 Karl J. Veeger mengumpamakan akan kepercayaan dan kebiasaan brobat pada dukun, berakibat tidak majunya proyek puskesmas di daerah masyarakat yang bersangkutan. Fungsionalisme akan mengtakan bahwa suatu program penerangan diperlukan untuk menyadarkan akan keunggulan system pengobatan modern.
5). Menurut Merton juga harus dipahami konsep “keharusan fungsional” (functional necessity) atau “prasyarat fungsional” (functional prerequisites).
Telah dikatakan oleh Gehard dan Jean Lenski dalam bukunya ”Humand Societies” (1974:28) menyebutkan ada enam keharusan fungsional,yaitu: komunikasi, produksi, distribusi, pertahanan, penggantian anggota lama, dan kontrol sosial. Karl Mark pernah berpendapat tentang pemerintahan atau pimpinan juga merupakan suatu keharusan fungsional, dia mengatakan bahwa pemerintah hanya dibutuhkan selama masyarakat tanpa kelas belum terwujud. Tetapi saat ini tidak ada seorangpun yang sependapat dengannya. Karena pada saat ini pemerintah atau pemimpin merupakan suatu keharusan fungsional yang ada dalam masyarakat untuk mengkoordinasi anggota-anggotanya. Misalnya pada zaman purba masyarakat penggembala mengangkat seorang pemimpin saat perang atau saat mau pindah tempat. Sedangkan dalam masyarakat sekarang
6). Merton membuat perbedaan terkenal, yaitu: “fungsi nyata” (manifest funcion) dan “fungsi sembunyi” (latent function). Fungsi disebut nyta, apabila konsekuensi tersebut disengaja, dimaksudkanatau setidaknya diketahui. Fungsi disebut sembunyi, apabila konsekuensi tersebut secara obyektif ada tetapi tidak (belum) diketahui. Pembedaan fungsi seperti ini banyak memberi manfaat dalam menelaah kesatuan sosial seperti:
      a. dapat membantu orang untuk memahami kenapa praktek-praktek tertentu di dalam masyarakat nampak tidak masuk akal dan tidak mencapai tujuannya, tetapi masih tetap diteruskan. Misalnya ada suku bangsa yang pada waktu tertentu mengadakan upacara untuk menurunkan hujan demi kesuburan tanah. Pandangan akal jelas bahwa tidak ada hubungan kausal antara upacara diatas dengan turunnya hujan. Namun demikian upacara itu masih terus dipertahankan dalam masyarakat tertentu. Emile Durkheim telah mencoba memaparkan bahwa praktek-praktek semacam itu memiliki fungsi tersembunyi, yakni guna memperkuat identitas diri kelompok masyarakat yang brsangkutan. Saat upacara berlangsung tumbuh perasaan bersatu dalam masyarakat tersebut yang sangat erat.
               Aplikasi contoh saat ini adalah bisa kita lihat, banyak proyek pembangunan dan modernisasi gagal, karena pejabat pelaksana proyek hanya mempertimbangkan fungsi nyata saja dan mengabaiakan dan bahkan tidak mau menghitung fungsi sembunyi.
      b. Kenyataan sosial dan keadaan sebenarnya bisa dikenali lebih baik, bila fungsi-fungsi sembunyi dari suatu fenomena sosial dipelajari. Misalnya, pengabdian pada bangsa, negara, atau agama sebagai fungsi nyata? Karena sering tampak bahwa aplikasinya tidak lebih dari fungsi pelayanan kepada kepentingannya sendiri (fungsi sembunyi), sekalipun tidak pernah dikatakan atau disadari. Apa yang langsung tampak sebagi kenyataan, sering tidak begitu penting. Justru dibalik hal-hal yang nyata itulah tersembunyi sebenarnya realitas hidup.
      c. Menemukan fungsi-fungsi sembunyi selalu menambah pengetahuan sosiologi. Misalnya, orang yang membeli mobil mahal atau mengadakan perjamuan di hotel berbintang lima, tidak semata-mata karena mencari sarana transportasi atau makan-makanan yang bergizi, melainkan sebagai gengsi dan ststus yang dianggap lebih tinggi saja. Karena perilaku manusia untuk sebagian besar berasal dari perasaan, dorongan naluri dan nafsu, meski semua ini tidak diakui dan menjadi fungsi sembunyi yang dibenamkan kebawah sadar. Jika mereka mulai sadar maka fungsi sembunyi menjadi fungsi nyata. Dan mengakibatkan adanya perubahan perilaku manusia atau masyarakat yang bersangkutan.
      d.   Kepekaan akan fungsi-fungsi sembunyi dapat membuat orang leboh hati hati dalam menilai praktek-praktek atau kenyataan sosial. Misalnya pelanggaran peraturan atau tata tertib tidak selalu disebabkan karena tiap hukum memiliki kelemahan yang diimbangi dengan adanya praktek menyimpang dari aparat.
               Menurut George Ritzer (1985:25) asumsi dasar teori fungsional structural adalah setiap struktur dalam system sosial, juga berlaku fungsional terhadap yang lainnya. Sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya.

3.     CONTOH KASUS

Korupsi terungkap dalam beberapa bentuk perilaku yaitu penyuapan, pemerasan, penggelapan, manipulasi, persekongkolan atau kolusi, dan nepotisme. Masing-masing bentuk perilaku korupsi itu mempunyai sebutan-sebutan dalam praktek-praktek yang dilakukan oleh masyarakat.
 Pandangan untuk membentuk sosiologi yang melihat realitas masyrakat seperti adanya korupsi didasarkan pada
a. Adanya fakta sosial yang bersifat nyata dan berpengaruh. Fenomena korupsi bersifat nyata karena terjadi dalam kehidupan sosial manusia. Berpengaruh karena dalam lingkungan sosial yang sudah diwarnai dengan perilaku korupsi maka setiap orang yang memasuki lingkungan tersebut akan terbawa arus korupsi;
b. Tidak adanya tumpang tindih dengan objek kajian cabang sosiologi lainnya. Fenomena korupsi memang merupakan bentuk perilaku menyimpang, namun di dalamnya terdapat kekhususan yaitu hanya yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan;
c. Adanya teori sebagai dasar penguatnya.
Fenomena korupsi dari sudut pandang Fungsionalisme Struktural dapat dijelaskan dari adanya ketidakpatuhan pemegang kekuasaan terhadap norma-norma yang mengatur penggunaan kekuasaan. Mereka berpandangan bahwa tujuan penggunaan kekuasaan itu tidak sepenuhnya dapat mewujudkan kepentingan atau tujuan pribadinya. Sementara itu sarana untuk mewujudkan tujuan kekuasaan itu belum memadai, seperti sedikitnya prasarana untuk memberikan pelayanan.
 Korupsi dapat dilakukan oleh orang-orang yang menjadi anggota lapisan atau kelompok sosial tertentu. Ini mengindikasikan lapisan atau kelompok sosial dapat menjadi faktor bagi berlangsungnya perilaku korupsi. Peluangnya ditentukan oleh kondisi tertentu, seperti tersentralisasinya kekuasaan pada kelompok etnis tertentu, berlangsungnya sistem politik yang otoriter, tiadanya pembagian fungsi di antara bagian-bagian kekuasaan, terjadinya tumpang tindih antara lapisan berdasarkan kekayaan dan kekuasaan, terjadinya persaingan di antara lapisan-lapisan pemegang kekuasaan dalam menetapkan kebijakan bidang ekonomi, terjadinya mobilitas vertikal dalam kekuasaan dengan motivasi ekonomi, terlalu cepat atau lambatnya mobilitas vertikal.
       Korupsi yang dilakukan oleh anggota kelompok sosial dapat berbeda bentuk dan tujuannya. Korupsi berupa nepotisme mempunyai tujuan yang berbeda jika dilakukan oleh anggota kelompok etnis atau ideologi politik. Korupsi dapat juga berupa diskriminasi perlakuan antara orang yang berada dalam kelompok yang sama. Korupsi berupa penggunaan dana publik dilakukan oleh seorang pemegang kekuasaan pada lapisan tertinggi untuk mendukung kelompok ideologi politiknya .
      Korupsi yang dilakukan oleh anggota lapisan sosial tertentu pada prinsipnya bertujuan untuk meningkatkan status sosial atau untuk mempertahankannya. Bentuknya berupa pembelian jabatan, pemanfaatan hubungan nepotisme atau patron-klien, melalui pejabat tinggi atau pemegang kekuasaan.






























BAB III

PENUTUP


Terjadinya banyak kasus korupsi di Indonesia merupakan akibat dari buruknya kinerja birokrasi di Indonesia . Sudah menyebar luas di masyarakat bahwa di kalangan aparat birokrasi kita terdapat slogan “jika bisa dipersulit, Dewasa ini, mulai banyak bermunculan permasalahan rumit yang sedang dihadapai oleh negara Indonesia . Permasalahan ini sudah mencakup banyak aspek, mulai dari aspek ekonomi, sosial, budaya, politik, hingga pertahanan keamanan.

Di era reformasi ini, setelah tumbangnya pemerintahan Orde Baru, agenda yang menjadi sorotan utama adalah masalah pemberantasan kasus-kasus korupsi. Masalah inilah yang merupakan salah satu penyebab utama runtuhnya pemerintahan Orde Baru. Di dalam pemilu pun, agenda pemberantasan korupsi menjadi isu yang cukup menjual untuk menarik massa .Korupsi di Indonesia seakan telah menjadi budaya yang memasuki berbagai bidang kehidupan, apalagi di sektor birokrasi kita yang sudah terkenal sangat canggih dalam berkorupsinya. Hal ini diperkuat oleh data survey lembaga internasional yang menyatakan bahwa Indonesia termasuk dalam jajaran sepuluh besar negara terkorup.

Jika di hubungkan dengan teori fungsionalisme structural yang telah dikemukan oleh Emile Durkheim di atas, maka dapatlah kita ketahui bahwa korupsi di Indonesia ini juga disebabkan oleh penyalahgunaan peran para elit politik. Dengan kata lain, disini teori fungsionalisme structural belum di terapkan. Jika teori ini benar – benar di terapkan, yang dengan begitu berarti semua lapisan masyarakat melaksanakan perannya masing – masing, termasuk jajaran elit politiknya, maka secara otomatis korupsi ini akan menghilang dengan sendirinya. Atau paling tidak berkurang sampai pada tahap sangat rendah.



















Daftar pustaka




Beilharz, Peter.2005.Teori-Teori Sosiologi Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka. Yogyakarta:Pustaka Pelajar Offset

Nazsir, Nasrullah.2008.Teori-Teori Sosiologi.Bandung:Wijaya Padjadjaran
09 Februari 2011 14:36

Tidak ada komentar:

Posting Komentar